Selama 8 Tahun Seorang Ibu di Samarinda Aniaya 3 Anaknya dengan Balok dan Piring Tanpa Alasan
Seorang remaja berinisial RM (16) di Samarinda, Kalimantan Timur, mengaku dianiaya ibu kandung sejak usia delapan tahun. Perlakuan itu dia alami bersama adiknya yang kini berusia tujuh tahun dan kakaknya yang kini berusia 27 tahun.
Ketiga saudara perempuan ini sering jadi sasaran amarah ibu kandung. RM mengaku sering dipukul ibu kandungnya menggunakan piring, kayu, bahkan patahan balok dan ganggang sapu.
"Kadang kami lagi makan, dia (ibu) ambil piring plastik yang keras pukul ke bagian muka. Ganggang sapu ibu pukul ke bagian punggung dan bagian tubuh kami," ungkap RM saat ditemui Kompas.com di sebuah rumah makan di Jalan Pasundan, Samarinda, Jumat (24/1/2020). Baca juga: Keponakan Aniaya Paman hingga Tewas,
Pelaku: Saya Kesal karena Istri Sering Diintip dan Dipeluk-peluk Saat ditemui, RM didampingi Koordinator Tim Reaksi Cepat Perlindungan Anak (TRCPA) Kaltim, Rina Zainun. Air mata RM bercucuran saat menceritakan kekerasan yang dia alami bersama adik dan kakaknya. RM menyebut, alasan pemukulan ibunya tak jelas seiring emosi sang ibu.
Kadang, ibunya tak suka ketiga anak perempuan itu makan hasil masakannya. "Ibu bilang, kalau makan, masak sendiri. Jangan makan makanan saya," ungkap RM menirukan ucapan ibunya.
Pengalaman pahit itu dia alami sejak duduk di kelas V SD. Kini RM sudah duduk kelas III Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Samarinda. Sementara adiknya duduk di kelas IV SD dan sang kakak bekerja di warung makan. "Kami ini seakan anak tirinya, padahal kami kandungnya. Kakak saya dipukul pakai balok dan ganggang sapu.
Kami dipukul di depan tetangga, bahkan di tempat umum," terang RM. RM juga menunjukan bekas pukulan ibunya di bibir hingga berdarah. Lebam di tangan dan memar di beberapa bagian tubuh. Tak hanya pukulan, maki dan cacian sering dialami ketiga anak ini. RM mengaku sering diteriaki ibunya menggunakan kata-kata kasar.
"Pukulan itu biasanya spontan, tapi makian hampir kami alami setiap saat," kata dia. Saat pergi sekolah, ibunya tak memberi uang jajan. Bahkan tak membayarkan uang sekolah. RM dan kakaknya akhirnya bekerja untuk mencukupi kebutuhan sekolahnya. Usai pulang sekolah, RM bekerja di angkringan guna mencukupi kebutuhan sekolah.
Kadang dibantu sang kakak. Ketiga bersaudara ini tak pernah merasakan kasih sayang dari ibu. Hanya ada yang pukulan dan makian. "Kami ingin ibu peluk dan kasih sayangnya. Kami ingin diajak curhat bagaimana di sekolah. Itu tidak pernah kami rasakan dari seorang ibu kandung," ungkapnya.
Tak tahan dengan kondisi itu, RM sempat berusaha bunuh diri dengan melompat dari atap rumah. Tapi akhirnya ia mengurungkan niatnya. Sudah berkali-kali ketiga bersaudara ini menceritakan kekerasan yang dialami ke ayah kandungnya. Tapi respons ayahnya lamban. Bahkan, menurut RM, ayahnya lebih mudah mempercayai ibunya.
"Kami tunjukin bekas lebam, memar ke bapak. Tapi bapak bilang, 'sabar ya nak, nanti bapak beritahu mama'. Begitu terus kata bapak," seperti ditirukan RM. RM mengatakan, ayahnya bekerja sebagai buruh bangunan. Ia selalu berangkat pagi dan pulang malam. Karena kecapean, kadang setelah sampai rumah, ayahnya langsung tidur.
RM tak berani melapor kejadian itu ke polisi. Hingga satu ketika, dia dipertemukan dengan tim reaksi cepat pelindungan anak lewat media sosial.
Koordinator Tim Reaksi Cepat Perlindungan Anak (TRCPA) Kaltim, Rina Zainun menceritakan, awalnya tak tahu RM mengalami kekerasan dari ibu kandungnya. Keduanya dipertemukan saat Rina memberi komentar di Facebook atas postingan link berita kasus bunuh diri anak. Kala itu, kata Rina, RM ikut memberi komentar atas status itu.
Komentar RM meminta saran dari Rina atas kejadian yang dialami. "Anak ini, komentarnya minta saran. Dia tanya, 'bagaimana cara mengajak ibu ngobrol?. Melihat isi komentar ini, felling saya enggak enak. Jadi saya ajak berteman di Facebook, lalu kami komunikasi lewat pesan singkat. Ku ajak dia bicara baik-baik, akhirnya dia curhat semuanya," terang Rina.