Sang Raja Meminta Maaf, tapi 5 Kasus Pembantaian Keji Oleh Belanda Ini Tak akan Bisa Dilupakan
Raja Belanda minta maaf atas kasus yang terjadi di penjajahan masa lalu, peristiwa yang lukanya dirasakan hingga kini
Pencarian sosok pejuang Republik, Kapten Lukas Kustario, menjadi awal terjadinya pembantaian massal di Desa Rawagede, Karawang, Jawa Barat. Karena tak menemukan sasarannya, perhatian pun dialihkan pada warga sipil yang ditanyai perihal keberadaan Lukas. Karena tak ada yang bisa menjawab, para laki-laki yang telah dikumpulkan di lapangan kemudian dieksekusi tanpa ampun.
Pada Desember 1946 hingga Februari 1947, menjadi bulan-bulan yang memilukan bagi masyarakat yang ada di Sulawesi Selatan. Saat itu, Kapten Raymond Pierre Paul Westerling bersama pasukan khusus Belanda Depot Speciale Troepen (DST) membantai ribuan rakyat sipil setempat. Selama kurun waktu 5 Desember 1946 hingga 21 Februari 1947, tercatat sedikitnya 40.000 orang telah dibantai oleh Westerling dan pasukannya.
Kekejaman tentara Belanda juga pernah dilakukan pada masyarakat Aceh saat pihaknya melaksanakan ekspedisi militer ke Gayo dan Alas. Menurut Deli Courant (1940) menyebutkan, ada 313 pria, 189 wanita, dan 59 anak-anak menjadi korban tewas pada salah satu desa di Gayo. Dalam laporan lainnya yang berjudul “De tocht van Overste van Daalen door de Gajo, Alas-en Bataklanden” (1904), J.C.J. Kempees yang merupakan ajudan Van Daalen – pemimpin operasi militer di Aceh, menyebut bahwa korban meninggal sebanyak 4.000 orang.
Peristiwa Gerbong Maut juga menjadi salah satu kasus di masa lalu yang seolah tidak mendapat dari pemerintah Belanda. Saat itu, masyarakat sipil yang terdiri dari pedagang, guru, pegawai perkebunan, dan beberapa pejuang kemerdekaan, dimasukkan secara serampangan ke dalam sebuah gerbong kereta yang sempit untuk dibawa ke Surabaya. 46 orang diketahui meninggal dunia, 11 sakit parah, 31 dalam keadaan lemas, dan hanya 12 orang saja yang sehat.
Monumen Peniwen Affair merupakan sebuah tugu peringatan atas peristiwa kekejaman tentara Belanda yang diketahui membantai anggota Palang Merah Remaja. Kejadian yang berada di Desa Peniwen, Kecamatan Kromengan, Kabupaten Malang, Jawa Timur itu, menjadi saksi kebrutalan pasukan Koninklijke Nederlanch-Indische Leger (KNIL). Di mana ada 10 korban tewas yang merupakan anggota PMR. Kejadian ini pun sempat mendapat sorotan luas di dunia internasional yang berujung berhentinya Agresi Militer Belanda.
Kunjungan Raja Belanda Willem Alexander yang didampingi Ratu Maxima ke Indonesia tengah jadi sorotan. Selain diprotes oleh anak cucu korban perang di masa lalu, bangsawan kelahiran 27 April 1967 itu menyampaikan permintaan maafnya terkait peristiwa silam dalam pidatonya di Istana Bogor (10/03).
Dalam pidato tersebut, Raja Willem menyampaikan penyesalan dan permintaan maaf terkait tindakan serdadu Belanda di masa lalu. Bagi anak cucu korban agresi militer negeri Kincir Angin tersebut, peristiwa di masa silam memang sangat menyakitkan. Kasus kekerasan dan pembantaian massal yang terjadi, tak begitu saja selesai hanya dengan minta maaf.
Pembantaian Rawagede yang lukanya dirasakan hingga saat ini
Kasus eksekusi massal oleh Raymond Westerling yang tak terlupakan
Ekspedisi militer yang membuat Aceh mandi darah
Kisah gerbong maut yang menelan puluhan korban jiwa rakyat Indonesia
Kekejaman pasukan KNIL membantai anggota Palang Merah Remaja (PMR)
Permintaan maaf yang dilayangkan oleh Raja Belanda Willem Alexander sejatinya tak cukup untuk menghapus luka dan duka yang dirasakan para korban perang di masa lalu. Bahkan, kritik keras juga dilontarkan oleh sejarawan Marjolein van Pagee soal permintaan maaf tersebut. Jadi, ketika Raja berpura-pura merasa sangat menyesal tentang perang ketika dia bertemu Presiden Joko Widodo, dia mengabaikan para korban,” ucapnya yang dilansir dari BBC (10/03/2020).