Kejadian Di Luar Nalar Saat Komandan Kopassus Hilang di Hutan Papua, Selama 18 Hari Jalan Kaki Akhirnya Bisa Selamat

Gambar terkait

Selama enam hari, Kopassus harus menyelesaikan misi dengan jalan kaki. Mereka berjalan dari pos Timika, untuk mencari pimpinan OPM Kelly Kwalik. Namun, seorang komandan Kopassus tersesat di hutan Papua.

Pengalaman selama tersesat ini yang tak masuk nalar.

BARET Merah merupakan kebanggaan bagi Kopassus. Untuk mendapatkannya bukanlah persoalan mudah


Ada seleksi ketat yang harus dilalui hingga akhirnya bisa memakainya.

Anggota Kopassus pun biasanya kenyang pengalaman di berbagai operasi militer.

Personel yang direkrut pasukan elite TNI AD merupakan sosok pilihan yang berkemampuan di atas rata-rata.

Setelah prajurit dinyatakan lulus melewati werving atau rangkaian tes kesehatan, fisik, akademi dan psikologi, mereka kerap mendapat penugasan sulit.

Ada beberapa operasi militer yang melibatkan Kopassus yang melegenda, di antaranya Operasi Trikora, Operasi Dwikora, Operasi Seroja, pemberantasan PRRI/Permesta hingga pembebasan sandera pesawat Garuda Woyla di Thailand.

Kejadian di luar nalar

Dalam penugasan, para prajurit musti menghadapi ganasnya kondisi alam. Bahkan ada prajurit Kopassus mengalami kejadian di luar nalar.

Seperti dikisahkan satu di antara anggota yang bertugas di Papua.

Dilansir dari buku "Kopassus untuk Indonesia"karangan Iwan Santosa dan EA Natanegara, satu di antara prajurit Kopassusmengalami pengalaman mistis yang tak lazim.

Saat itu, sang prajurit ditempatkan sebagai komandan pos TNI di Timika.

Itu merupakan satu di antara pos yang waktu itu sangat rawan karena keberadaan pentolan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Kelly Kwalik dan Thadeus Yogi.

Pasukan tersebut lalu diperintahkan untuk menggerebek markas OPM yang berjarak enam hari jalan kaki dari pos TNI di Timika.

Tim berangkat ke lokasi pada bulan Oktober, yang juga bertepatan dengan musim penghujan.

Saat hari kelima perjalanan, mereka bertemu sungai dengan arus yang sangat deras.

Mereka memutuskan menyeberang menggunakan tali.

Saat menyeberang, ada prajurit berpangkat kopral masuk ke pusaran air dan hanyut.

Melihat itu, sang komandan menyelam untuk menolongnya.

Sampai suatu titik, alur sungai itu hilang dan menjadi air terjun.

Sang komandan kemudian menepi di tengah hutan Papua, yang berada di ketinggian 4.000 Mdpl (meter di atas permukaan laut).

Lima orang sudah menyeberang, tiga orang belum menyeberang dan sang komandan hanyut bersama dengan si kopral.

Karena terus berusaha mencari prajuritnya yang hilang, sang komandan tersesat di dalam hutan belantara Papua yang masih rapat.

Dia berusaha mencari arah untuk kembali ke Timika dengan harapan melaporkan anak buahnya yang hilang kepada atasan untuk selanjutnya mencari kembali.

Tiba hari keenam, lokasi yang dicari tak juga ditemukan.

Prajurit ini sudah berada di ambang sadar.

Semua perlengkapan, termasuk sepatunya hanyut dibawa arus sungai yang deras.

Pada hari keenam, prajurit Kopassus ini mengalami pengalaman yang tak bisa dijelaskan dengan akal sehat.

Ia mengaku melihat alam lain.

Antara kondisi sadar dan tidak, prajurit tersebut merasa masih terus berjalan.

Di hari kesebelas, dia berhasil menyeberangi sungai yang lebarnya 200 meter sebelum akhirnya tiba di Timika.

Selama 18 hari tersesat di dalam hutan, akhirnya prajurit tersebut ditemukan oleh warga pedalaman dalam kondisi selamat.

Saat itu, kondisi tubuhnya hanya tinggal tulang berbalut kulit. Matanya terus berputar liar dan telapak kaki yang bengkak akibat tertancap potongan kayu.

Yang membuat merinding, ternyata dalam mata prajurit tersebut selama tersesat di hutan, dia merasa diikuti tiga sosok tak terlihat.

Menurut penuturannya, tiga sosok tak terihat itu muncul saat matahari sudah terbenam. Satu memijati kaki, satu memijati pundak dan satu lagi berbagi rokok dengan prajurit tersebut.

Meski dalam kondisi yang memprihatinkan, dokter yang memeriksa menyatakan prajurit tersebut bebas dari penyakit malaria dan cacing tambang.

Apa syarat menjadi Kopassus?

Pertanyaan ini kerap terlontar, namun tidak terjawab.

Anggota Kopassus dianggap memiliki kemampuan khusus. Seperti bergerak cepat di setiap medan, menembak dengan tepat, pengintaian dan antiteror.

Menjadi anggota Kopassus merupakan kebanggaan bagi setiap pasukan TNI AD. Pasalnya, untuk menjadi prajurit Kopassus bukan hal mudah.

Pasukan baret merah ini digadang-gadang sebagai satu pasukan yang terbaik di dunia.

Setidaknya, calon anggota Kopassus harus bisa lari 2,4 kilometer dengan waktu 12 menit, 40 kali push up dalam semenit, tidak takut ketinggian dan lainnya.

Bagaimana proses perekrutannya?

Untuk mendapatkan baret merah dan brevet komando kebanggaan korps tersebut, prajurit harus melewati pelatihan khusus yang nyaris melewati kemampuan batas manusia.

Tahap pertama, Tahap Basis.

Yaitu pemusatan pelatihan di Pusat Pendidikan Pelatihan Khusus, Batujajar, Bandung.

Di sini, calon prajurit komando dilatih keterampilan dasar. Seperti menembak, teknik dan taktik tempur, operasi raid, perebutan cepat, serangan unit komando, navigasi darat dan berbagai keterampilan lain.

Tahap kedua, Tahap Hutan Gunung.

Diadakan di Citatah, Bandung.

Di sini, para calon prajurit komando berlatih untuk menjadi pendaki serbu, penjejakan, anti penjejakan, survival di tengah hutan.

Dalam Pelatihan Survival, calon Prajurit komando harus bisa hidup di hutan dengan makanan alami yang tersedia di hutan.

• Nasib Pohon Randu di Markas Pusdik Kopassus Hancur, Ternyata Akibat Mahaguru Berlatih

Dengan latihan ini Prajurit Komando harus bisa membedakan tumbuhan yang beracun dan dapat dimakan, dan juga mampu berburu binatang liar untuk mempertahankan hidup.

Tahap latihan hutan gunung diakhiri dengan long march dari Situ Lembang ke Cilacap dengan membawa amunisi, tambang peluncur, senjata dan perlengkapan perorangan.

Dalam buku yang berjudul Pramono Edhie Wibowo dan Cetak Biru Indonesia ke Depan, yang diterbitkan QailQita Publishing, 2014, mantan Kepala Staf TNI AD Jenderal (Purn) Pramono Edhie Wibowo membeberkan pengalamannya saat mengikuti latihan Kopassus.

"Neraka" di Cilacap

Tahap Ketiga, Tahap Rawa Laut.

Latihan terberat sudah menanti saat sampai di Cilacap. Ini merupakan latihan tahap ketiga yang disebut latihan Tahap Rawa Laut.

Calon prajurit komando berinfliltrasi melalui rawa laut.

Di sini, materi Latihan meliputi navigasi Laut, Survival laut, Pelolosan, Renang ponco dan pendaratan menggunakan perahu karet.

Para calon prajurit komando harus mampu berenang melintasi selat dari Cilacap ke Nusakambangan.

“Latihan di Nusakambangan merupakan latihan tahap akhir, oleh karena itu ada yang menyebutnya sebagai hell week atau minggu neraka. Yang paling berat, materi latihan ‘pelolosan’ dan ‘kamp tawanan’,” kata Pramono.

Dalam latihan itu para calon prajurit komando dilepas pagi hari tanpa bekal, dan paling lambat pukul 10 malam sudah harus sampai di suatu titik tertentu.

Selama “pelolosan” si calon harus menghindari segala macam rintangan alam maupun tembakan dari musuh yang mengejar.

Dalam pelolosan itu, kalau siswa sampai tertangkap maka itu berarti neraka baginya karena dia akan diinterogasi layaknya dalam perang.

Para pelatih yang berperan sebagai musuh akan menyiksa prajurit malang itu untuk mendapatkan informasi.

Dalam kondisi seperti itu, si prajurit harus mampu mengatasi penderitaan, tidak boleh membocorkan informasi yang dimilikinya.

Untuk siswa yang tidak tertangkap bukan berarti mereka lolos dari neraka.

Pada akhirnya, mereka pun harus kembali ke kamp untuk menjalani siksaan.

Selama tiga hari siswa menjalani latihan di kamp tawanan. dalam kamp tawanan ini semua siswa akan menjalani siksaan fisik yang nyaris mendekati daya tahan manusia.

“Dalam Konvensi Jenewa, tawanan perang dilarang disiksa. Namun, para calon prajurit Komando itu dilatih untuk menghadapi hal terburuk di medan operasi. Sehingga bila suatu saat seorang prajurit komando di perlakukan tidak manusiawi oleh musuh yang melanggar konvensi Jenewa, mereka sudah siap menghadapinya,” tulis Pramono Edhie.

Beratnya persyaratan untuk menjadi prajurit kopassus dapat dilihat dari standar calon untuk bisa mengikuti pelatihan.

Nilai standar fisik untuk prajurit nonkomando adalah 61, namun harus mengikuti tes prajurit komando, nilainya minimal harus 70.

Begitu juga kemampuan menembak dan berenang non-stop sejauh 2000 meter.

“Hanya mereka yang memiliki mental baja yang mampu melalui pelatihan komando. Peserta yang gagal akan dikembalikan ke kesatuan Awal untuk kembali bertugas sebagai Prajurit biasa,” tutup mantan Danjen Kopassus ini.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel