Pengadilan Belanda Kabulkan Tuntutan Korban Kekejaman Westerling
Kolonel Raymond Westerling salah satu perwira militer Belanda yang kejam selama masa revolusi kemerdekaan Indonesia. Banyak aksinya yang mengundang kontroversi salah satunya pembantaian dan memprovokasi pemberontakan APRA di Bandung.
Salah satu alasan kenapa orang ini lolos dari tuntutan adalah kasusnya yang dianggap sudah kadaluarsa. Namun kemarin, 1 Oktober 2019,
Pengadilan Tinggi Den Haag memutuskan, bahwa perkara korban perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949 atau kekejaman Kolonel Westerling tidak boleh lagi dikenakan hambatan kedaluwarsa. Putusan pengadilan ini membuka jalan untuk kasus-kasus baru di masa mendatang.
Pengadilan Tinggi Den Haag memutuskan, bahwa perkara korban perang kemerdekaan Indonesia 1945-1949 atau kekejaman Kolonel Westerling tidak boleh lagi dikenakan hambatan kedaluwarsa. Putusan pengadilan ini membuka jalan untuk kasus-kasus baru di masa mendatang.
“Negara memberi alasan kedaluwarsa, karena apa yang dituduhkan pada mereka sudah terlalu lama berlalu. Pengadilan menolak alasan kedaluwarsa ini,” kata Pengadilan Tinggi Den Haag dalam keputusannya hari Selasa.
“Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa kekerasan yang digunakan sungguh di luar batas dan tercela, sehingga melampaui batas kedaluwarsa.”
Keputusan Pengadilan Tinggi ini menggugurkan protes dari pemerintah Belanda yang tengah digugat anak-anak dari lima korban kekerasan militer Belanda di bawah Kolonel Westerling di Sulawesi Selatan.
Kelima korban tersebut dieksekusi tanpa proses hukum di tengah perang kemerdekaan Indonesia di tahun 1947. Pemerintah Belanda berpendapat bahwa kasus ini tidak bisa didengar lagi di meja hijau, karena sudah kedaluwarsa.
“Ini keputusan yang amat penting,” kata Jeffry Pondaag, yang lewat yayasannya Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) telah menolong korban perang kemerdekaan dan keluarga mereka untuk menuntut keadilan dan ganti rugi pada pemerintah Belanda.
Bersama pengacara Belanda Liesbeth Zegveld, KUKB, yang berkantor di kota Heemskerk, para keluarga korban telah berhasil mendapat ganti rugi pada tahun 2011 dan 2013 untuk korban dan janda-janda dari penduduk kampung Rawagede, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, yang dibunuh oleh militer Belanda ditengah perang kemerdekaan di Indonesia.
Zegveld menekankan bahwa keputusan pengadilan tinggi Den Haag kemarin adalah penting karena secara internasional ini juga pertama kalinya terjadi. Yakni, hakim dari pengadilan tinggi memberi keputusan tentang kekerasan kolonial.
“Ini juga akan berdampak untuk negara-negara lain,” kata Zegveld.
Walau pemerintah menerima keputusan pengadilan Den Haag untuk memberi ganti rugi pada korban dan janda-janda Rawagede dan Sulawesi Selatan, mereka naik banding untuk gugatan anak-anak korban dengan alasan kedaluwarsa.
Keputusan Pengadilan Tinggi ini untuk mengesampingkan kedaluarsa atau statute of limitation akan membuka jalan untuk setumpuk gugatan di masa mendatang.
“Sudah ada sekitar 800 nama anak-anak korban dari Sumatera, Sulawesi, Jawa Tengah dan Jawa Timur,” kata Jeffry Pondaag.
Pengadilan yang sama mengabulkan tuntutan Yaseman, yang ditangkap dan disiksa oleh tentara Belanda di kawasan Malang, Jawa Timur, di tahun 1947. Keluarga Yaseman, yang meninggal dua tahun yang lalu, mendapat ganti rugi sebanyak 5.000 euro atau sekitar Rp 77 juta.
Sumber: tempo.co