Apakah Nafkah Kebutuhan Kosmetik Istri Wajib Dipenuhi Suami? Wajib Atau Tidak !! Berikut Penjelasannya
Belakangan ini, produk kosmetik menjadi salah satu kebutuhan primer bagi wanita khususnya di Indonesia. Hal ini terlihat dari data pertumbuhan ekonomi nasional 2018 yang menyatakan bawa industri kosmetik nasional mengalami kenaikan pertumbuhan sebesar 20% atau empat kali lipat dari tahun sebelumnya. Bahkan, Kementrian Perindustrian menempatkan industri kosmetik sebagai sektor primer yang masuk dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035.
Hal ini menunjukkan kosmestik di Indonesia memiliki pasar yang luar biasa. Bagi perempuan yang masih single umumnya mencukupi kebutuhan kosmetiknya melalui nafkah dari orang tuanya, bisa juga dengan uangnya sendiri bagi yang sudah bekerja. Ketika seorang perempuan sudah menikah, baik dia bekerja atau tidak seluruh kebutuhannya menjadi tanggung jawab suaminya. Lantas, apakah kosmetik masuk dalam nafkah yang harus dijamin oleh suami ?
Melihat fenomena ini perlu kiranya kita mengetahui bagaimana nash dalam Al-Qur’an terkait tema ini dan bagaimana pandangan sebagian ulama mengenai penafsiran terhadap nash tersebut.
Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah (2) ayat 233,
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan, kewajiban ayah ialah memberikan makan dan pakaian kepada ibu anaknya dengan cara yang ma’ruf…”
Selanjutnya, dalam QS At-Thalaaq (65) ayat 6 Allah berfirman,
أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ وَلَا تُضَارُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُوا عَلَيْهِنَّ ۚ
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.
Menurut K.H Husein Muhammad dalam bukunya Fiqh Perempuan, nafkah yang wajib diberikan suami kepada istri meliputi pangan (makanan), sandang (pakaian) dan papan (tempat tinggal).
Pendapat ini diperkuat Imam Nawawi yang mengatakan bahwa nafkah yang wajib diberikan suami kepada istrinya adalah makanan, pakaian, tempat tinggal, pembantu (jika dibutuhkan), alat-alat untuk membersihkan tubuh dan perabot rumah tangga. Sedangkan nafkah alat-alat kecantikan atau kosmetik bukanlah kewajiban suami, kecuali hanya sebatas untuk menghilangkan bau badan.
Bahkan Khatib Asy-Syirbini menambahkan bahwa nafkah untuk kesehatan, baik membeli obat-obatan atau biaya ke dokter istri bukan kewajiban suami. Pendapat sebaliknya dikemukakan oleh ulama kotemporer, Wahbah Zuhaili yang tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Menurutnya, pendapat Syarbini didasarkan pada tradisi yang berkembang masa itu di mana mereka tidak menganggap obat-obatan dan biaya kesehatan sebagai kebutuhan pokok, tentu saja hal tersebut berbeda dengan keadaan masyarakat sekarang.
Al-Zahrawi, seorang dokter ahli bedah Muslim di Andalusia pada abad ke-10 M yang sebuah ensiklopedia medis yang berjudul Al-Tashrif, di dalamnya menyatakan bahwa salah satu cakupan dari ilmu kesehatan adalah kosmetik. Menurutnya, seorang istri dianggap berhak mendapatkan anggaran kosmetik dari suaminya dengan tujuan untuk merawat diri dan menjaga kesehatan.
Al-Zahrawi menjelaskan konsep perawatan tubuh dan kosmetik berdasarkan aturan dalam Islam, sebab menurutnya Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga kebersihan, cara berpakaian dan merawat diri. Bahkan dalam ensiklopedianya dia mengupas kosmetik secara khusus, ensiklopedia ini selanjutnya menjadi rujukan berbagai universitas di Barat.
Pendapat lain dari Al-Jaziri yang menyatakan bahwa sesungguhnya realitas kosmetik dikembalikan kepada suami, sebab suamilah yang menikmatinya bukan orang lain. Dengan demikian hukum kosmetik dan sejenisnya bergantung pada ridho dan suka atau tidaknya suami. Jika menggunakan kosmetik dapat menjadikan bertambahnya rasa cinta suami kepada istri maka suami wajib memberikan nafkah tersebut agar istri bisa berhias diri, namun jika suami merasa istrinya tidak perlu berdandan, maka nafkah kosmetik dianggap tidak perlu.
Syariat Islam sendiri memiliki orientasi untuk memperkokoh rasa cinta antara suami dan istri, maka sederhananya dapat dikatakan bahwa segala tindakan yang menyebabkan putusnya ikatan pernikahan tidak diperbolehkan dan segala yang mengokohkan di anjurkan.
Mengenai nafkah kosmetik istri ini, dipandang akan lebih bijak apabila kita tidak hanya melihat dari wajib tidaknya dalam pandangan hukum Islam. Tapi, ini perlu dilihat dari sudut pandang perlu atau tidaknya kosmetik tersebut serta efek yang akan ditimbulkan, sehingga disesuaikan dengan masing-masing individu.
Jika suami menginginkan istrinya untuk tampil cantik dengan tujuan menjaga keharmonisan bahtera rumah tangga, maka suami berkewajiban untuk memberikan nafkah kosmetik kepada istrinya, namun apabila suami tidak menghendaki hal itu maka dia tidak berkewajiban menjamin nafkah kosmetik kepada istrinya. Wallahu ‘alam…